Ketika Pernikahan Bukan Ajang Pencari Kenikmatan

Apa makna pernikahan bagimu?

Apakah pernikahan itu berarti akhir perhentian dari sebuah perjalanan panjang yang tak berujung? Apakah pernikahan adalah akhir dari segalanya? Apakah pernikahan adalah tempat menumpahkan segala hasrat kita?

Begitukah dirimu memaknai pernikahan?

Bagiku, pernikahan adalah menerima separuh jiwaku yang hilang. Ya, separuh jiwaku ada pada wanita. Bukan hanya berlawanan secara seksual saja; secara berbagai macam aspek pun laki-laki dan wanita saling berkebalikan.

Wanita sulit melupakan, laki-laki mudah melupakan. Wanita sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, laki-laki nggak peduli pada masa lalu. Wanita mudah dipengaruhi secara emosional, laki-laki mudah dipengaruhi pada pemikiran logis. Wanita berbicara dengan hati, laki-laki berbicara dengan akal sehingga jarang berbicara karena merasa nggak penting untuk dibicarakan. Wanita mudah bosan, laki-laki menerima apa adanya. Wanita menuntut, laki-laki memberi. Wanita membutuhkan cinta, laki-laki membutuhkan penghargaan. Wanita terluka saat putus hubungan, laki-laki terluka saat merasa tak berguna. Wanita malu, laki-laki nekat. Dan berbagai macam sifat lainnya yang membuat wanita dan laki-laki saling berkebalikan.

Itu beberapa yang kupahami dari segi psikologis.

Tapi mengapa sering terjadi perselisihan antara laki-laki dan wanita? Apakah karena berbagai sifat psikologis yang saling berkebalikan? Apakah sifat-sifat yang saling berkebalikan itu menimbulkan konflik? Apakah begitu logikanya?

Padahal, saling berkebalikannya laki-laki dan wanita secara biologis akan menghasilkan kenikmatan. Lalu, mengapa perbedaan dari segi psikologis malah menimbulkan luka?

Maka, harapanku untuk pernikahanku 31 Agustus kelak, kuharap bisa menikmati kehidupan bersama separuh jiwaku kelak. Dan harapan besarnya tentu saja untuk terus dapat bersyukur dan bersabar atas takdir yang telah ditetapkan oleh-Nya. Sehingga dengan dua sifat mulia ini, akan tegak agama di muka bumi. Amin.